Rabu, 23 November 2011

Anak Negeri Langit

            Siang ini langit mendung. Aku buru-buru meninggalkan kelas begitu bel pulang sekolah berbunyi. Aku naik angkot karena hari ini sopir mobil jemputan sedang sakit. Ketika sampai di mulut jalan menuju rumah, hujan turun sangat deras. Begitu turun dari angkot, aku segera lari dan memutuskan untuk berteduh di gazebo taman. Kebetulan disitu ada anak cowok yang sebaya dengan ku, sehingga aku tidak sendirian.
            Anak itu terlihat gelisah dan ada genangan air mata di kedua sudut matanya. Dia sepaeti pemain teater yang kabur dari pementasan. Pakaiaannya aneh, ponco putih selutut.
            "Sepertinya kamu bukan anak komplek sini, ya..?" sapaku menyelidik.
Mata gelisahnya menatapku, "Memang bukan.Emm.......tolong dong, bantu berdoa supaya hujan lekas reda dan langit kembali cerah!"
             Aku tersenyum, "Kalau habis hujan, langit belum tentu langsung cerah lagi."
             Dia menatapku sejenak, kemudian menangis, "Kalau begitu, aku tidak akan bisa pulang.."
             "Telepon saja orang tuamu agar di jemput. Kalau mau, kamu bisa menelepon dari rumahku, " kataku menawarkan bantuan.
             "Di Negeri Langit tidak ada telepon," balasannya.
             "Apa maksudmu?" Tanyaku penasaran.
             Sejenak dia menatapkiu ragu, "Aku bukan berasal dari sini. Aku anak Negeri Langit, tempatku di atas sana. Aku bisa pulang bila ada awan putih di langit yang cerah.
              Aku tersenyum, "kamu sedang menghapal teks drama, ya?"
              Dia diam saja sambil terus menatapku, lalu tangan kanannya ia julurkan hingga terkena tetesan air hujan, dan.............
              "Aaaaahhhhhhh! Ka.......kamu hantu!!!!!" teriakku spontan. Aku bersiap untuk lari, tapi karena badanku gemetaran, aku hanya bisa duduk lemas bermandikan keringat saking takutnya. Bayangkan, tangannya yang terkena air hujan itu lenyap begitu saja! tidak kelihatan!
             "Sudah ku bilang, aku anak Negeri Langit! Bukan hantu!" dia melengos marah, tapi kemudian menunduk sedih.
             Aku mencoba menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya pelan-pelan. Aku jadi merasa bersalah karena mengatainya hantu. Untuk menebus kesalahanku, aku menawarinya untuk berteduh di rumahku sampai hujan reda. Dia setuju.
             Kami berlari ke rumahku yang tinggal beberapa meter. Ketika terkena air hujan, tubuhnya lenyap begitu saja, hiiiiiiii!
             Selama menunggu hujan reda, Pipio si anak Negeri Langit itu, bercerita tentang negerinya yang indah, bahkan awan bisa dikendarainya seperti karpet terbang. Nah, Pipio sedang mengendarai awan ketika tiba-tiba angin kencang merusak awannya, lalu ia terhempas dan jatuh ke Bumi.
              Hujan baru reda ketika menjelang malam dan tak ada awan putih bergerak di langit. Pipio sangat  sedih karena harus menginap di rumahku. Di saat ia bercerita tentang Negeri Langit, Pipio berjanji akan mengajakku terbang mengendarai awan menuju langit.Wow! Aku jadi tidak bisa tidur semalaman karena terus membayangkan petualang yang tentu akan sangat menakjubkan itu.
             Keesokan harinya, ketika aku pulang sekolah, ternyata Pipio sudah tidak ada. Rupanya ia sudah pulang ke negeri asalnya, mumpung langit sedang cerah dan awan putih tampak berarak-arakan. Aku sedih sekali karena Pipio pulang begitu saja tanpa berpamitan. Apalagi ia telah ingkar janji. Dia telah berbohong. Dia pulang sendirian ke langit tanpa mengajak diriku. Seharian aku terus menggerutu, karena kecewa sekali pada Pipio.
             "Anak Langit tak bisa dipercaya!" teriakku di taman sambil menengadah ke langit.
             "Cindy? Kok, marah-marah pada langit?"
             "Karena kamu bohong! Kamu bukan anak langit, kamu pemain teater yang........"
             Oo.... Aku baru sadar, rupanya bukan Pipio yang menyapaku, tetapi Romy, tetanggaku yang rumahnya di seberang taman.
             "Eh, Romy! Maaf, aku kira Pipio," kataku tersipu
             "Pipio? Namanya aneh sekali, dan kamu tadi bicara tentang anak langit, kamu salah minum obat, ya?" tanyanya meledek.
             Wahhh, ini kesempatan bagus, aku bisa bercerita tentang si anak langit itu padanya. Siapa tahu ia terkesan dan aku bisa ngobrol panjang lebar dengan cowok keren yang menarik perhatian anak-anak cewek di sekolahku ini.
             Romy mendengarkan ceritaku yang menggebu-gebu tentang Pipio dan janjinya mengajakku pergi ke langit. Raut wajahnya nampak penuh keheranan, tapi kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
             "Ternyata benar kata beberapa teman sekelasmu, kalau kamu itu agak aneh. Jangan bilang kamu pernah bertemu alien, ya!!" katanya mengejek
             Duh, sedihnya hatiku mendengar ejekannya. Semua ini gara-gara Pipio! Bukannya mendapat perhatian dan simpati dari Romy, Eeh......malah ejekan yang ku dapat.
             "Aku nggak bohong....." kataku sambil menahan tangis karena sedih.
             "Cindy! jadi ikut ke langit, nggak?!" tiba-tiba terdengar suara yang pernah aku kenal.
             Hah? Ketika aku menoleh ke arah suara itu, tampak Pipio sedang berdiri di atas segumpal awan putih. Aku segera berlari ke arahnya dan langsung meloncat ke atas awan dengan penuh semangat. Kami pun melesat terbang. Sekilas ku lihat Romy hanya melongo, tak mampu bicara sepatah kata pun.
             Ini benar-benar tamasya yang menakjubkan. Di Negeri Langit, selain para peri pengasuh, penghuninya adalah bayi dan anak-anak.
             "Mengapa tak ada orang dewasa, Pipio?"
             Pipio menatap ku sedih, "Hal inilah yang akan kuceritakan padamu. Di negeri kami, semua penghuni umurnya hanya sampai sepuluh tahun. Dan hari ini adalah hari terakhir bagiku. Umurku sekarang sudah 10 tahun."
             "Berarti kamu tidak akan hidup lagi?"
             "Tidak! Harusnya malah sejak tadi aku sudah meninggal, tapi aku minta waktu agar bisa memenuhi janjiku padamu."
             Ooh, begitu, aku telah salah sangka pada Pipio. Rupanya dia telah berkorban banyak membawaku ke negerinya yang menakjubkan.
             Aku kembali sebelum sore. Rupanya Romy  masih menungguku di taman.Dia berlari menyambutku ketika aku  turun dari awan putih itu.
             "Pipio! Ajak aku juga, dong!! Aku mohon......." pinta Romy.
             Pipio hanya menggeleng, lalu terbang lagi ke langit. Romy kemudian menghujaniku denagan banyak pertanyaan, dan diakhiri dengan permohonan agar aku mau mengajaknya ke langit.
            "Maaf Romy, tak ada kesempatan ke langit untuk kedua kalinya," balasku, kemudian aku berlari pulang. Romy mengejarku sambil terus memohon agar aku mengajaknya ke langit.

sumber: GIRLS, 2007          

Senin, 21 November 2011

Bukittinggi

Hy guys,, it's my city..
let's know about bukittinggi............. :)


Bukittinggi (Indonesian for "high hill") is one of the larger cities in West Sumatera,Indonesia, with a population of over 91,000 people and an area of 25.24 km². It is situated in the Minagkabau highlands, 90 km by road from the West Sumatran capital city of Padang. It is located at 0°18′20″S 100°22′9″E / 0.30556°S 100.36917°E / -0.30556; 100.36917, near the volcanoes Mount Singgalang (inactive) and Mount Marapi (still active). At 930 m above sea level, the city has a cool climate with temperatures between 16.1°-24.9°C.


A. History

Fort de Kock in 1826

The city has its origins in five villages which served as the basis for a marketplace.
The city was known as Fort de Kock during colonial times in reference to the Dutch outpost established here in 1825 during the Padri War.  The first road connecting the region with the west coast was built between 1833 and 1841 via the Anai Gorge, easing troop movements, cutting the costs of transportation and providing an economic stimulus for the agricultural economy. In 1856 a teacher-training college (Kweekschool) was founded in the city, the first in Sumatra, as part of a policy to provide educational opportunities to the indigenous population. A rail line connecting the city with Payakumbuh and Padang was constructed between 1891 and 1894.
During the Japanese occupation of Indonesia  in World War II, the city was the headquarters for the Japanese 25th Army, the force which occupied Sumatra. The headquarters was moved to the city in April 1943 from Singapore and remained until the Japanese surrender in August 1945.

 


Mosque in central Bukittinggi
 
During the Indonesian National Revolutin, the city was the headquarters for the Indonesia Republik Emergency Goverment (PDRI) from December 19, 1948 to July 13, 1949. During the second 'Police Action' Dutch forces invaded and occupied the city on December 22, 1948, having earlier bombed it in preparation. The city was surrendered to Republican officials in December 1949 after the Dutch government recognized Indonesian sovereignty.
The city was officially renamed Bukittinggi in 1949, replacing its colonial name. From 1950 until 1957, Bukittinggi was the capital city of a province called Central Sumatra, which encompassed West Sumatra, Riau, and Jambi.  In February 1958, during a revolt in Sumatra against the Indonesian government, rebels proclaimed the Indonesia Republik Revolution Goverment  (PRRI) in Bukittinggi. The Indonesian government had recaptured the town by May the same year.
A group of Muslim men had planned to bomb a cafe in the city frequented by foreign tourists in October 2007, but the plot was aborted due to the risk of killing Muslim individuals in the vicinity. Since 2008 the city administration has banned Valentine's Day and New Year's celebrations as they consider them not in line with Minangkabau traditions or Islam, and can lead to "immoral acts" such as young couples hugging, kissing and not to mention fornicating.

B. Administration

Bukittinggi is divided in 3 subdistricts (kecamatan), which are further divided into 5 villages (nagari) and 24 kelurahan. The subdistricts are:
Guguk Panjang, Mandiangin Koto Selayan, and Aur Birugo Tigo Baleh.

C. Transportation

Bukittinggi is connected to Padang by road, though a dysfunctional railway line also exists. For inner-city transport, Bukittinggi employs a public transportation system known as Mersi (Merapi Singgalang) and IKABE that connect locations within the city. The city also still preserves the traditional horse-cart widely known in the area as Bendi, although the use is limited and more popular to be used as vehicle for tourist, both domestic and foreign.

D. Tourism

It is a city popular with tourists due to the climate and central location. Attractions within the city include:
Sianok Canyon
  • Ngarai Sianok (Sianok Canyon)
  • Lobang Jepang (Japanese Caves)
  • Jam Gadang- a large clock tower built by the Dutch in 1926.
  • Pasar Atas and Pasar Bawah - traditional markets in downtown.
  • Taman Bundo Kanduang park. The park includes a replica Rumah Gadang (literally: big house, with the distinctive Minangkabau roof architecture) used as a museum of Minangkabau culture, and a zoo. The Dutch hilltop outpost Fort de Kock is connected to the zoo by the Limpapeh Bridge pedestrian overpass.
  • Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta (Museum of Bung Hatta Birthplace) - the house where Indonesian founding father Mohammad Hatta was born, now a museum.
sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Bukittinggi    

Template by:

Free Blog Templates